UpdateIKN.com, Samarinda – Indonesia tengah menghadapi perubahan signifikan dalam struktur demografi, di mana jumlah anak usia 0-9 tahun terhadap total populasi mengalami penurunan.
Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga 2050, membawa konsekuensi besar bagi perencanaan kependudukan dan pembangunan sumber daya manusia.
Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Utama BKKBN Republik Indonesia, Budi Setiyono, dalam acara Kick Off Meeting Call To Action: Indeks Pengasuhan Anak Usia Dini yang berlangsung secara virtual belum lama ini.
“Penurunan ini harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk memperkuat sistem pengasuhan, agar generasi mendatang mendapatkan lingkungan tumbuh kembang yang lebih baik,” ujar Budi.
Hasil pemutakhiran data 2024 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 75,6 juta keluarga dari total 80 juta keluarga. Dari jumlah tersebut, 12.926.644 keluarga memiliki anak balita, dengan rincian 3.784.725 keluarga memiliki anak usia 0-23 bulan dan 9.141.919 keluarga memiliki anak usia 24-59 bulan.
Meski jumlah anak menurun, tingkat indeks pengasuhan anak usia dini justru mengalami peningkatan. Pada 2023, indeks ini berada di angka 54,51 persen, lalu naik menjadi 55,06 persen pada 2024. Pemerintah telah menargetkan peningkatan indeks pengasuhan anak usia dini dalam rentang 2025 hingga 2029 di berbagai provinsi.
Namun, masih ada berbagai tantangan dalam pengasuhan anak, terutama terkait screen time atau waktu penggunaan perangkat elektronik.
Data terbaru menunjukkan bahwa 35,57 persen anak usia dini sudah mengakses internet, sedangkan 39,71 persen telah menggunakan telepon seluler. Penggunaan gadget yang tidak terkontrol dapat berdampak negatif pada tumbuh kembang anak, sehingga orang tua perlu lebih bijak dalam mengawasi aktivitas digital mereka.
Di luar pengasuhan, masih banyak anak di Indonesia yang belum mendapatkan hak-haknya secara penuh. 19,49 persen anak belum memiliki akta kelahiran, dengan angka tertinggi di NTT, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua.
Selain itu, 53,37 persen anak tidak memiliki jaminan kesehatan, terutama di NTB, Maluku, Jambi, dan NTT. Kondisi tempat tinggal anak usia dini juga menjadi perhatian, dengan 56,54 persen anak belum tinggal di rumah layak huni, terutama di Papua Pegunungan, NTT, Papua, dan Kalimantan Barat.
Menanggapi berbagai tantangan ini, pemerintah menegaskan komitmennya untuk memperkuat kerja sama lintas sektor guna memastikan hak anak terpenuhi secara optimal. Langkah ini mencakup peningkatan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, serta lingkungan yang lebih kondusif bagi tumbuh kembang anak.
“Upaya memperbaiki pengasuhan dan pemenuhan hak anak bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama masyarakat,” kata Budi Setiyono.
Dengan berbagai kebijakan yang terus diperkuat, Indonesia diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi anak-anaknya, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045. (Putri/Par)