Perlindungan Anak di Samarinda Lemah, DPRD Desak Pemerintah Bertindak Cepat

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti. (Ft: Melani/UpdateIKN.com)

UpdateIKN.com, Samarinda –   Meningkatnya kasus kekerasan anak di Samarinda belakangan ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam di kalangan legislatif. Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Sri Puji Astuti, dengan tegas meminta pemerintah untuk tidak menutup mata terhadap maraknya kekerasan yang dialami anak-anak di Samarinda.

Dia menegaskan bahwa situasi ini membutuhkan penanganan serius dan komprehensif dari semua tingkatan pemerintahan, mulai dari kota, provinsi, hingga pusat.

“Kami berharap kasus ini dibuka seluas-luasnya agar menjadi perhatian serius, tidak hanya pemerintah daerah, tapi juga provinsi bahkan pusat,” kata Puji, Selasa (29/7/2025).

Menurutnya, kekerasan anak bukan hanya merupakan permasalahan hukum semata, tetapi juga memperlihatkan kelemahan sistemik dalam perlindungan sosial anak di daerah. Dalam berbagai kasus yang muncul, terlihat jelas bahwa anak-anak korban kekerasan belum mendapatkan perlindungan maksimal dari negara.

Sri Puji menilai bahwa fenomena ini seharusnya menjadi momentum penting bagi pemerintah, khususnya di Samarinda, untuk membangun sistem yang lebih kuat dalam melindungi hak-hak anak.

Dia bahkan mendorong pembentukan lebih banyak fasilitas perlindungan anak, termasuk rumah aman, rumah singgah, dan panti sosial anak Samarinda yang dapat menangani anak-anak yang menjadi korban kekerasan, terlantar, atau mengalami masalah sosial lainnya.

“Dari kasus ini, mungkin ke depan akan muncul panti khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Samarinda juga bisa memperluas jangkauan untuk membentuk rumah aman, rumah singgah, atau rumah perlindungan bagi anak-anak terlantar,” katanya.

Sayangnya, berbagai upaya ini masih menghadapi kendala regulasi. Salah satu hambatan utama adalah batas waktu maksimal penampungan anak di rumah singgah, yang hanya diperbolehkan selama 15 hari. Padahal, mayoritas kasus kekerasan anak di Samarinda membutuhkan proses penanganan dan pemulihan jangka panjang.

“Padahal kasusnya butuh penanganan jangka panjang,” ujarnya.

Selain itu, Puji juga menyoroti kendala yang datang dari aspek anggaran. Saat ini, dana dari APBD tidak dapat digunakan untuk pembangunan panti sosial anak di Samarinda karena hal tersebut dianggap sebagai kewenangan pemerintah pusat. Hal ini sangat membatasi ruang gerak pemerintah daerah dalam merespons cepat kebutuhan darurat di lapangan.

“Ketatnya regulasi ini juga membuat kota tidak bisa menggunakan dana APBD untuk membangun panti,” imbuhnya.

Dengan berbagai hambatan yang ada, Sri Puji mendesak pemerintah pusat, khususnya Kementerian Sosial Republik Indonesia, agar memberikan kelonggaran dan fleksibilitas kebijakan kepada pemerintah daerah. Menurutnya, tanpa dukungan pusat, penanganan kasus sosial seperti kekerasan anak di Samarinda akan terus berjalan lambat dan tidak maksimal.

“Kita berharap ada fleksibilitas, terutama dari Kementerian Sosial, agar permasalahan sosial di daerah bisa ditangani secara lebih fleksibel dan cepat,” tandasnya.

Selain mendorong kebijakan dari pemerintah, Sri Puji juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk ikut peduli dan berperan aktif dalam melindungi anak dari kekerasan. Ia mengingatkan bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas pemerintah.

“Dengan meningkatnya kesadaran publik dan sinergi antara pemerintah dan masyarakat, diharapkan kasus kekerasan anak di Samarinda bisa ditekan dan dicegah sejak dini,” pungkasnya. (Melani/ADV/DPRD Samarinda)

Iklan