Warga Sungai Keledang Tolak Pembangunan Insinerator, Ini Kata Samri Shaputra

UpdateIKN.com, Samarinda – Rencana pembangunan insinerator komunal di RT 17 Jalan Sultan Hasanuddin, Kelurahan Sungai Keledang, Samarinda Seberang, menuai penolakan keras dari warga yang telah menghuni lahan tersebut selama lebih dari dua dekade. Penolakan ini mencuat saat Ketua Komisi I DPRD Samarinda, Samri Shaputra, melakukan peninjauan lapangan pada Senin (4/8/2025).
Rencana pemerintah membangun insinerator atau fasilitas pembakaran sampah skala komunal di atas lahan yang saat ini masih dihuni masyarakat, menjadi polemik baru di Kota Samarinda.
Warga menyatakan keberatan atas wacana tersebut karena mereka telah menetap di lokasi itu selama lebih dari 20 tahun membangun rumah, berkeluarga, bahkan menjadi komunitas yang solid.
“Kondisi di lapangan sudah padat penduduk. Wajar kalau masyarakat keberatan karena mereka merasa sudah lama tinggal dan membangun kehidupan di sana,” ujar Samri kepada awak media.
Menurut Samri, meskipun warga mengakui bahwa lahan tersebut bukan milik mereka secara legal, melainkan dulunya dianggap sebagai lahan kosong tak bertuan, namun kenyataan bahwa mereka telah menghuni lahan itu selama puluhan tahun menjadikan persoalan ini sangat kompleks.
“Yang menjadi sorotan adalah bagaimana pemerintah sebelumnya seakan membiarkan situasi ini terus berjalan tanpa penegasan. Kalau sejak awal sudah ditegaskan bahwa lahan ini milik pemerintah, mestinya ada langkah penertiban atau pembinaan sejak awal. Bukan dibiarkan berkembang menjadi permukiman padat seperti sekarang,” kata Samri.
Komisi I DPRD Samarinda berjanji akan memfasilitasi pertemuan antara masyarakat, pemerintah kota, dan pihak-pihak terkait untuk mencari solusi terbaik. Samri mengingatkan penting bagi semua pihak duduk bersama, agar rencana pembangunan insinerator ini tidak menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan.
“Kami akan undang semua pihak ke DPRD Samarinda. Harus dibicarakan secara terbuka, apakah pembangunan insinerator ini masih bisa dilakukan di lokasi itu atau perlu dicarikan lahan alternatif,” ucapnya.
Menurutnya, jika lahan itu adalah aset milik pemerintah, maka tanggung jawab perlindungan terhadap masyarakat yang menempati juga melekat pada pemerintah. Namun jika lahan itu milik pihak swasta, maka tentu mekanismenya berbeda, dan warga perlu diberi kejelasan hak dan tanggung jawabnya.
Dalam kesempatan yang sama, Samri juga melontarkan kritik terhadap pemerintah yang dinilai lalai dalam mengelola aset-aset lahan negara.
“Masalah seperti ini tidak muncul dalam satu dua tahun, tapi setelah dibiarkan 10–20 tahun. Ketika tidak ada penertiban, masyarakat merasa aman. Mereka membangun rumah, hidup turun-temurun. Baru setelah muncul proyek besar, masyarakat diminta pindah. Ini yang tidak bijak,” ujarnya.
Samri menyebut bahwa ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah, agar ke depan lebih proaktif menjaga dan menertibkan aset milik negara. Ia juga menegaskan bahwa masyarakat yang telah lama tinggal, meski secara hukum tidak memiliki lahan, tetap berhak mendapatkan perlindungan sosial dan perlakuan manusiawi. (Melani/ADV/DPRD Samarinda)