DPRD Samarinda Desak Evaluasi Total Panti Asuhan Usai Kasus Kekerasan terhadap Anak Marak

UpdateIKN.com, Samarinda – Rentetan kasus kekerasan terhadap anak kembali terjadi Kota Samarinda. Peristiwa memilukan yang terjadi di salah satu panti asuhan baru-baru ini menjadi pemicu keprihatinan mendalam, tidak hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga di lingkup legislatif daerah.
DPRD Kota Samarinda, melalui Komisi IV, langsung merespons dengan menyuarakan tuntutan tegas, evaluasi menyeluruh terhadap seluruh panti asuhan di Samarinda.
Langkah ini dipandang sebagai wujud nyata keberpihakan DPRD Samarinda terhadap upaya perlindungan anak, terutama mereka yang tinggal di panti asuhan, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman, namun justru menjadi tempat baru munculnya luka dan trauma.
Anggota Komisi IV DPRD Samarinda, Yakob Pangedongan, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kasus ini. Dia menegaskan bahwa panti asuhan tidak boleh dikelola secara sembarangan. Standar kelayakan, keamanan, serta kompetensi pengasuh harus menjadi prioritas utama.
“Panti asuhan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan justru menjadi sumber penderitaan bagi sebagian anak. Ini tidak bisa dibiarkan. Kami harus bertindak cepat dan tegas,” ujarnya.
Menurutnya, banyak panti asuhan di Samarinda masih minim pengawasan. Bahkan tidak sedikit yang beroperasi tanpa pembinaan yang layak dari instansi terkait.
Untuk itu, DPRD Samarinda mendorong Dinas Sosial Kota Samarinda agar tidak tinggal diam. Yakob menyarankan agar dilakukan peninjauan ulang terhadap izin operasional seluruh panti asuhan, serta pengecekan langsung kondisi fasilitas dan kelayakan tenaga pengasuh.
“Evaluasi ini harus menyeluruh dan objektif. Jika ditemukan pelanggaran atau indikasi kekerasan, izinnya harus dicabut. Anak-anak bukan subjek eksperimen sosial,” tegas Yakob.
Dia juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas para pengasuh melalui pelatihan psikologis dan manajemen pengasuhan anak.
Pengasuh yang tidak memiliki kompetensi emosional dan pendidikan yang memadai berisiko tinggi melakukan tindakan kekerasan, baik fisik maupun psikis—terhadap anak asuh mereka.
Selain perbaikan kelembagaan, Komisi IV juga menilai perlu adanya pembenahan sistem pelaporan kekerasan terhadap anak. Saat ini, masih banyak korban yang tidak berani melapor karena takut mendapatkan tekanan, atau karena sistem yang rumit dan tidak ramah anak.
“Kami ingin ada jalur pelaporan khusus yang aman, cepat, dan terpercaya. Harus ada jaminan perlindungan bagi anak yang menjadi korban maupun bagi pelapor lainnya,” lanjut Yakob.
Dia juga menyarankan adanya kerja sama lintas sektor antara pemerintah, kepolisian, lembaga perlindungan anak, dan masyarakat sipil untuk menciptakan ekosistem perlindungan yang efektif.
Sebagai tindak lanjut, DPRD Samarinda akan segera menginisiasi pertemuan lintas sektor yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Agenda utama adalah menyusun strategi terpadu dalam membangun sistem perlindungan anak yang tidak hanya reaktif, tapi juga preventif.
“Jangan tunggu sampai ada korban baru. Sistem ini harus bisa mendeteksi dini dan mencegah kekerasan sebelum terjadi,” ujar Yakob.
Langkah ini menjadi bagian dari visi DPRD untuk menjadikan perlindungan anak di Samarinda sebagai pilar utama pembangunan sosial yang berkelanjutan.
Komisi IV DPRD Samarinda juga menyatakan siap mendorong penguatan regulasi dan anggaran dalam mendukung program-program perlindungan anak. Mulai dari edukasi publik, pelatihan bagi pengasuh, hingga pengawasan berbasis teknologi akan menjadi perhatian serius.
“Anak-anak adalah aset masa depan kota ini. Mereka harus dibesarkan dalam lingkungan yang penuh kasih, bukan kekerasan. Dan negara harus hadir untuk itu,” tutupnya. (Putri/ADV)