Darurat Kekerasan Anak, Ini Kata Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti. (Ft: Putri/UpdateIKN.com)

UpdateIKN.com, Samarinda –   Masalah kekerasan terhadap anak di Kota Samarinda masih menjadi momok yang membayangi kehidupan banyak keluarga. Meski berbagai program perlindungan sudah diluncurkan, angka kekerasan belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Bahkan, sampai Mei 2025, tercatat 87 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di kota ini. Ironisnya, mayoritas korbannya adalah anak perempuan.

Dari bentuk kekerasan seksual, fisik, hingga psikis, semuanya masih terjadi dengan pola berulang. Masalah kekerasan terhadap anak di Kota Samarinda bukan lagi isu domestik, tetapi sudah menjadi krisis sosial yang harus disikapi serius oleh semua pihak.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, menyampaikan keprihatinannya. Dia menilai bahwa banyak masyarakat masih menganggap kekerasan anak sebagai urusan rumah tangga. Padahal, sikap diam dan membiarkan hanya akan memperburuk trauma korban dan memperpanjang siklus kekerasan.

“Kita tidak bisa terus bergantung pada pemerintah. Masyarakat harus berani buka suara, harus peduli. Kalau melihat tanda-tanda kekerasan, segera laporkan,” ujarnya.

Dia menyoroti betapa masih banyak orang tua yang memilih bungkam karena takut stigma sosial. Alih-alih mencari keadilan untuk anaknya, mereka justru menyimpan luka itu rapat-rapat demi menjaga nama baik keluarga.

“Kalau anak jadi korban, tugas kita bukan menutupi. Tugas kita adalah melindungi dan membela. Anak bukan aib, anak adalah amanah,” katanya.

Sri Puji menilai bahwa penanganan kekerasan terhadap anak selama ini terlalu bersifat reaktif, bukan preventif. Pemerintah, lembaga pendidikan, aparat hukum, dan masyarakat seharusnya bersinergi sejak awal membangun sistem perlindungan yang kokoh dari rumah hingga ke ruang publik.

Dia juga mengkritisi sekolah-sekolah yang kerap menutupi kasus kekerasan, terlebih jika pelaku adalah guru atau staf internal.

“Kalau pelaku kekerasan adalah guru, maka harus dihukum. Jangan sekadar dipindahkan atau diberi teguran. Itu bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan orang tua dan murid,” ujarnya.

Data Simfoni PPA menunjukkan bahwa tahun 2023 terdapat 189 kasus kekerasan terhadap anak, lalu menurun menjadi 150 kasus di 2024. Namun penurunan ini belum bisa dijadikan indikator bahwa kondisi membaik. Justru jenis kekerasannya masih didominasi oleh pelecehan seksual, yang cenderung sulit terdeteksi jika korban tidak berani bersuara.

“Penurunan angka belum tentu bukti keberhasilan. Bisa jadi korban makin takut bicara, makin banyak yang tutup mulut,” kata Sri Puji.

Menurut dia, gerakan Stop Kekerasan Anak harus menjadi gerakan nyata, bukan hanya kampanye di baliho atau media sosial. Ia menyerukan semua elemen, tokoh masyarakat, RT, RW, guru, tenaga medis, hingga keluarga sendiri untuk aktif menjadi mata dan telinga bagi anak-anak di sekitar mereka.

Anak-anak tidak hanya butuh kasih sayang, tetapi juga perlindungan hukum dan dukungan sosial. Setiap anak yang menjadi korban kekerasan adalah kegagalan kolektif masyarakat.

“Jangan biarkan anak tumbuh dalam ketakutan. Kita semua bertanggung jawab. Jangan tunggu sampai tragedi terjadi baru bergerak,” tutupnya. (Putri/ADV)

Iklan